Rasanya belum mampu saya menemukan ritme kehidupan saya di Sorong ini. Termasuk ritme penulisan saya di blog ini. Tentu sebagai orang ganteng, apapun tidak menjadi alasan untuk berhenti menulis. Termasuk sinyal yang naik, turuuuuuuuuun, hidup, matiiiiiiiiiiiii..... Kadang sudah ada ide, dah didepan laptop, eh sinyalnya malah membelakangi... Siyal... Tentu saya mengerti banyak cara untuk mengatasinya, dengan membuat draft dulu, atau dengan cara lain. Namun pengertian saya akan cara-cara itu tidak cukup kuat untuk mendorong saya membuatnya...
Namun, daripada ngigau gak jelas begitu mending saya bercerita dulu. Mudah-mudahan, sinyalnya bisa dirayu dikit.
Namun, daripada ngigau gak jelas begitu mending saya bercerita dulu. Mudah-mudahan, sinyalnya bisa dirayu dikit.
Sudah sebulan lebih saya menjalani kehidupan saya di Sorong. Namun baru hari ini pertama kalinya ke pantai. Sebenarnya saya tinggal di dekat laut, dekat pelabuhan. Tapi, secara khusus pergi ke pantai baru kali ini. Tidak direncanakan sebenarnya, namun pertemuan dengan teman membuatnya jadi begitu.
Minggu pertama saya tidak sempat ibadah, selain karena belum nemu gerejanya, juga karena keberangkatan ke Makassar kemarin. Minggu kedua ke gerejanya teman pemuda saya waktu di Tangerang. Dia orang Sorong, kuliah di Tangerang dan sekarang bekerja di Sorong. Nah, 3 minggu berikutnya saya bergereja di GPdI Ekklesia. Dan hari berjalan, waktu berputar, saya teringat salah satu teman pemuda saya di GPdI Gloria, Malang. Namanya Alex... Teringat karena dulu ketika saya di Tangerang dan sudah lama tidak ada komunikasi, dia pernah update status kalau dia berada di Irian Jaya. Iseng-iseng saya menghubunginya, dan betul dia memang sedang bekerja di Irian Jaya ini. Dan di Sorong. Saya kemudian bertemu dengannya di gereja tempat dia beribadah, GPdI Kanaan... Senang rasanya bertemu dengan teman lama di tempat yang baru...
Kok iso sampeyan nyampe Sorong? Kok bisa mas sampe ke Sorong? Inilah pertanyaan yang sudah saya pastikan akan saya tanyakan kepada teman saya ini..
Dan inilah jawabannya...
Dia melamar di sebuah perusahaan. Di tahap interview, ada 3 orang mereka yang di interview waktu itu...
Dia melamar di sebuah perusahaan. Di tahap interview, ada 3 orang mereka yang di interview waktu itu...
Nanti kalian akan ditempatkan ke Sorong. Bersedia atau bagaiamana? Dan jawaban mereka adalah:
- Waduh... Saya tidak bisa, Pak... Saya maunya di Indonesia bagian barat, atau kalau tidak Tengah lah gak apa-apa...
- Saya sih gak apa-apa, Pak... Tapi saya harus menghubungi orangtua saya dulu...
- Nah, ini jawaban teman saya. "Lho, ya bersedia aja...!"
Keluar dari ruang interview, teman saya ini kemudian bertanya kepada kedua temannya yang lain.
"Emang Sorong itu dimana?"
"Lha kamu gak tau? Papua...!"
"Haaaaa? Kok saya jawab iya tadi...?"
Anda pasti bisa menduga-duga kejadian selanjutnya. Mungkin akan sama dengan reaksi saya tadi mendengarnya. Ketawa ngakak-ngakak.... :D
"Trus, orangtuamu gimana?"
"Nah itu dia... Orangtua saya malah gak apa-apa.. Biasa saja... Saya jadi gak biasa saja, udah ke Sorong malahbiasa saja reaksi mereka. Padahal dulu waktu ke Cirebon bilangnya, kok jauh sih, Nak..?!"
What a story... :D
Dan kalau dunia ini memang sempit, apalagi Indonesia. Di gereja ini saya malah ketemu juga dengan teman saya waktu saya remaja di GPdI Cornelius di Surabaya. Tadi pas di gereja saya mau ke toilet, dan kebetulan saya bertanya kepada temen saya ini yang sekilas saya kok kenal wajah ini, tapi perasaan ah-itu-tidak-mungkin mengalihkan mencari tahunya. Lagian saya khan lagi kebelet. Eh, pas saya sudah dihalaman gereja, dia malah menyuruh suaminya untuk menanyakan tentang saya. Dan betul ternyata, dia teman remaja saya waktu di Surabaya itu...
Dan yang memberkati mereka waktu menikah di Surabaya adalah bapak gembala saya juga waktu di Surabaya. Satu lagi, ternyata suaminya itu adalah teman anaknya pendeta saya waktu di Tangerang... Akh, Indonesia ini memang sempit, hanya luas waktu penempatan.. :P
Nah, hari ini adalah hari libur di Papua, berkaitan dengan Hari Pentakosta. Bersama teman-teman gereja itu kami ada ibadah sekalian rekreasi ke pantai. Tanjung Kasuari. Tidak sampai 1 jam perjalanan lamanya. Di sepanjang jalan Tanjung Kasuari ini berjejer pintu-pintu masuk yang di palangi dengan palang-palang sederhana yang terbuat dari kayu atau bambu. Sekitar beberapa ratus meter ke pintu masuk selanjutnya. Seperti itulah cara penduduk lokal mengelolanya. Uang masuk Rp 10.000/sepeda motor, (kalau semobil tadi kurang tahu saya), kemudian fasilitas toiletnya Rp 5.000/sekali masuk/orang dewasa. kalau anak-anak, Rp 3.000. Saya agak senang juga pantai-pantai ini dikelola oleh penduduk lokal, setidaknya uang itu mengalir ke penduduk kita Indonesia juga. Tidak seperti lokasi-lokasi (atau pulau-pulau) lainnya yang dikelola oleh warga asing secara ekslusif, kemudian disewakan dengan harga yang sangat tinggi, dan ironisnya duitnya mengalirnya ke mereka-mereka warga asing itu...
Pantainya sendiri cukup sederhana, dalam artian ya sederhanalah. Landai, ada bagian yang berbatu-batu, dan ombaknya kecil (tadi). Hanya saja saya senang di pesisir pantainya. Banyak ditumbuhi pohon-pohon kelapa dan pohon-pohon besar lainnya. Sejuk jadinya...
Bersyukur buat Tuhan atas ciptaan-Nya ini. Bersyukur atas pertemuan dengan teman lama di tempat baru yang lewat dia saya bisa berkunjung ke Tanjung Kasuari ini. Setidaknya, pantai ini bisa jadi menu pembuka untuk pantai-pantai dan tempat wisata selanjutnya bagi saya...
Tanjung Batu mereka menamakan ini. Lokasinya di Tanjung Kasuari juga.