Nah... berhubung dalam kelanjutan hidup saya di Surabaya banyak hal-hal baru yang menyenangkan (cieeee???) yang saya raih, mungkin anda bakal bertanya, Hohhh... anak seudik itu?
Tapi ya sudahlah...
Saya, yang sebelum memasuki bangku eSDe dulu waktu di kampung halaman saya, sangat bersemangat ingin sekolah. Dan saat itupun tiba, umur 6,5 tahun saya memasuki eSDe. Gak TK dulu? Haa, di zaman saya waktu dikampung belum ada TK, Kawan, jadi macam manalah...
Dan singkat cerita, otak mini saya ini menyimpulkan kalau saya itu bersekolah biar jadi anak yang pintar. Pintar berhitung, mambaca, menulis dan sebagainya. Dan kira-kira kelas 2 gtu, otak saya ini berkembang. Dia menyimpulkan kalo mau pintar itu gak cukup hanya dengan belajar. Harus di padu dengan giji makanan.
Saya telah terobsesi menjadi pintar.
Dan, di keluarga saya, konsumsi susu itu tidak bisa dibilang ada. yang saya ingat tentang susu pada waktu kecil adalah:
: Waktu itu kami sekeluarga bakal merayu tanaman-tanaman kopi kami untuk berbuah dengan bagus. Rayuan yang kami gunakan adalah, memberinya pupuk kompos dan menimbuninya (pupuk komposnya bukan tanaman kopinya) dengan tanah liat. Hooo... butuh tenaga extra untuk pekerjaan berminggu-minggu itu. Dan di suatu hari, ibu saya mendropping pasokan susu kaleng ke kami anak-anaknya. Susu kaleng putih, Frisian Flag, saya kebagian satu gelas. Satu kali itu....
Dan kembali ke obsesi saya menjadi pintar.
Demi tercapainya tujuan mulia "menjadi anak yang pintar ini", yang tidak didukung dengan pasokan susu, maka saya beralih ke pasokan protein dari telor (apa telur ya?).
Saya, setiap pagi sebelum berangkat kesekolah kebagian tugas memberi makan ayam-ayamku
(kalo sedang memberi makan) dan ayam-ayam kami
(ini kalo ayamnya sudah dipotong dan dimasak).
. Dan sekalian saya memeriksa apakah hari ini ayamnya akan bertelor atau tidak. Caranya?
.
Anda yakin mau tahu cara saya memastikan apakah ayamnya bakal bertelor atau tidak?
Ah yang bener?
Serius?
Baiklah.... saya anggap anda mau tahu....
Begini caranya, (and please, don't try this at home, don't try this at kucing, gajah, harimau dan lain-lain). Ok i warn you....
Satu persatu ayam betina (ayam jantan gak mungkin bertelor kan), saya dekati dengan mengiming-imingi makanannya (jagung dll) di telapak tangan saya, berhubung wajah saya tidak menakutkan (hoaksssss), ayamnyapun akan mendekat, dan saya tangkap sambil berkata, "Kenaaa, Deh..!". . Dan selanjutnya, (ini bagian paling penting ) saya menusukkan kelingking saya ke anusnya ayam itu. Iya ke anusnya. Iya ke saluran pembuangan taiknya ayam itu. Dan jika ternyata kelingking saya akan bertelor, eh, jika kelingking saya menyentuh benda keras (cangkang telor) di dalam perut ayam itu, bisa dipastikan ayamnya bakal mengaruniakan mutiara putih kedunia ini. Saya tambahkan deh makanannya. Sapa tau telornya jadi tambah gedhe. Kemudian saya akan mengurungnya biar tidak bertelor di kandang ayam orang lain. Siangnya sepulang sekolah saya akan memeriksa ayam tersebut, kalo sudah ada telornya ayamnya saya lepaskan. Telornya saya kumpulkan ke tempat penampungan sementara. . Dan dilain waktu ibu saya akan menjualnya. Buat keperluan sehari-hari. Kami, anak-anaknya bakal dapat jatah makan telor ayam dicampur madu jika besoknya akan ada ujian sumatif.
Hubungan obsesi mulia "menjadi pintar" saya dengan telor ayam:- Kadang-kadang, jika saya tidak sedang lupa kalo saya terobsesi "menjadi pintar", maka ketika saya pulang sekolah dan mendapati ayam itu bertelor, maka: Sebelum ada yang tahu kalo ayamnya bertelor (kecuali ayamnya), saya dengan innocentnya bakal menelan telor ayam itu mentah-mentah (yaikssss) dan membuang cangkangnya ketempat tersembunyi. Biar ibu saya tidak tahu. Bisa kena marah soalnya. Dan percayalah, saya tidak pernah lupa kalo saya sedang terobsesi "menjadi pintar" jika melihat telor ayam. Dan ayamnya? Pernah sekali waktu ketika sepulang sekolah, saya memeriksa ayam yang dipastikan akan bertelor itu, kemudian ternyata benar-benar bertelor. Tapi telornya udah ada yang makan, yang tersisa cuman cangkangnya. Setelah interogasi, ternyata ayamnya yang memakannya. Dia gak rela telornya saya makan.
- Dan suatu ketika, obsesi saya "menjadi pintar" terasa menjadi ekstrem. Saya bahkan sampai-sampai memakani telor ayam yang baru-baru dierami. Adek saya ikut-ikutan. Dan ketahuan sama ibu saya. I'm totally on a very bad situation. Saya tahu kalo ibu saya sudah tahu hal itu dari kakak kelas saya di eSDe dulu. Hari itu saya sudah tak bersemangat di sekolah. Kepala pusing. Perut mual. Muntah-muntah. (Ah lebay kalipun...!). Iya, saya sudah tak bersemangat dengan berita yang di bawa kakak kelas saya itu ke sekolah. Aku tahu seperti apa ibuku bakal marah. Apalagi karena aku yang salah.
Sore harinya, tugas saya sore hari adalah memasak makanan buat kami sekeluarga. Saya berusaha memasak makanan terenak buat mengambil hati ibu saya. Namun apa daya, saya tak menemukan kotak berisi garam. Entah kemana dia waktu itu. Semakin sore, semakin gelap, semakin dekat dengan pengadilan dengan saya sebagai terdakwa. Dan tanpa perlu bukti. Saya menjadi otak utama penyebab lenyapnya telor ayam itu ke perut saya.
. Ibu saya pulang. Ku coba menyambut (licik kali aku ini.. hahaha). Namun tak kulihat sunggingan senyum di bibir ibuku. Dan kulihat lincing-lincing dahan kayu sebesar kelingking saya waktu itu. Saya tahu sasarannya pasti kedua betis saya. Makanya sebelumnya saya sudah memakai celana
trenning (nulisny bener gak?) tebal yang dibeli ibuku hari Jum'at sebelumnya. Saya juga menyarankan adek saya menggunakan celana
trenning tebalnya. Ide ini mungkin pengaruh dari giji telor yang saya makan ya..?!
Acara makan malam menjadi hambar. Walaupun sayur yang saya masak tanpa garam itu sudah dibubuhi garam oleh kakakku yang ikut pulang dari sawah. Yang lucu, aku makan berderai air mata.
. Berlanjut ke proses pengadilan.
Proses pengadilan selesai. Dan saya terjerat
Pasal 5151 (Sol Do Sol Do) Undang-undang Hukum Perayaman. Tentang perbuatan tidak senonoh terhadap ayam. Iyalah, masa saya mengambil telor ayam, yang notabene telor itu sedang dierami.
. Dan kena pasal berlapis sodara-sodara.
Pasal 6657 (La La Sol Si), karena pagi hari saat ibu saya tahu telor ayam itu lenyap, saya gak ngaku.
Hukuman pun dijatuhkan. Dan karena ayam yang mengerami itu adalah ayam Nantulang (bibi) kami, saya harus meminta maaf dulu ke nantulang itu. Selesai.
Here come the
"lincing-licncing sekelingking tadi" dengan teganya melahap betis saya... Sakit? Iyaaa... lha wong sebelum di hukum, Ibu saya menyuruh saya menarik celana trening saya ke atas.
"Tarikkkk....!" gitu katanya.....
Dan itulah sedikit(?) cerita, tentang obsesi pintar saya. Dan pelajaran berharga buat saya...
"Jangan ijinkan obsesimu menguasaimu. Jangan sampai karena obsesi kamu melakukan hal yang tidak benar."
Dan, setelah merantau berapa lama, saat saya bercerita tentang ini ke Ibu saya:Dalam bahasa batak;
Ahu: "Uma, diingot uma dope tikki manakko tolor au?"
Uma: "Nadia?"
Ahu: "Sinamasai..." (hupaingot a muse)
Uma: "Hahahahahah... diingot ho dope hape i Amang?'
Ahu: "Huingot, ai ala ni tolor i gabe jago ma parningotanhu...!"
Uma: "Hahahaha, sai na adong-adong do ho Amang...!"
Dalam bahasa Indonesia:
Saya: "Ma, masih ingat gak, waktu dulu saya mencuri (disimpulkan saya mencuri telor ayam) telor ayam dulu?"
Mama saya: "Yang mana?"
Saya: "Yang itu,..." (dan sayapun mengingatkannya)
Mama saya: "Hahahahahah....!, Masih kau ingat rupanya itu....!!"
Saya: "Masih lah ma,...! Pengaruh telor ayamnya, daya ingat saya jadi kuat....!"
Mama saya: "Hahahahah... ada-ada ajah kau amang....
*Apa sekarang saya pintar? Sometimes.....Bukan karena dulu sering mengkonsumsi telor ayam, makanya saat eSeMPe saya gak pernah bayar uang SPP, beasiswa... bukan...
Bukan karena itu saya bisa kuliah dan lulus dengan Ip diatas 3, bukan....
Saya ini manusia yang beruntung....