Libur agak panjang ini dimanfaatkan oleh beberapa pasang teman saya untuk melanjutkan hubungan asmaranya ke jenjang yang lebih tinggi. Pernikahan. Selamat untuk mereka semua. Sebagai teman saya turut berbahagia. Entah saya perlu ngasih tahu alasannya. Sedangkan saya, libur panjang ini saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk ikut ambil bagian (kecil) dalam pelayanan di gereja. Panitia Natal Pemuda. Dan dari kepanitiaan ini saya jadi lebih dekat dengan teman-teman di gereja. Dari rapat ke rapat, dari ngobrol ke ngobrol, dari kumpul-kumpul ke kumpul-kumpul, dari mamat ke warung-warung nasi goreng dekat gereja. Jadi dekat. Jadi banyak cerita, sharing, tukar pikiran, tawa, senyum-senyum, salah tingkah-salah tingkah, dan jadi melakukan sesuatu yang kalau bisa saya jangan mengulanginya lagi, foto-foto di PhotoBox... Ha ha ha
Di beberapa kesempatan, obrolan menghangat tentang asmara-asmaraan. Cinta-cintaan. Pacar-pacaran gitulah, gak ngerti. Meski awalnya gak ngerti, namun menyerempet ke masalah kesetiaan, komitmen dan akhirnya saya jadi ikut mikir tentang kesetiaan itu. Teringat akan qoute dari Bunda Teresa, "Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud-maksud buruk di balik perbuatan baik yang kaulakukan itu. Tetapi, tetaplah berbuat baik. Karena pada akhirnya ini bukan urusan antara engkau dengan mereka, tapi antara engkau dengan Tuhan...!" Mungkin bisa berbuat baik itu saya ganti dengan setia, "Apabila engkau setia, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud-maksud buruk di balik kesetiaan itu. (Orang lain mungkin tidak setia). Tetapi tetaplah setia. Karena pada akhirnya nanti, kebaikan, kesetiaan, kejujuran, dan semua kawan-kawannya itu bukanlah urusan tentang saya dengan orang itu. Tapi urusan saya dengan Tuhan.
Ketika Tuhan bertanya, "Apakah engkau setia...?"
Dan saya menjawab, "Iya, tadinya saya mau setia, tapi dia begini begitu begini begitu....bla bla bla...."
Dan Tuhan berkata, "Saya hanya bertanya, "Apakah engkau setia?"."
Setelah menyadari arti pertanyaan itu, mungkin saya hanya bisa menjawab, "Tidak, Tuhan...!"
Dan upah untuk yang tidak setiapun diberikan...
Dan kesetiaan itu bisa berkembang, meningkat, tahan uji dan semakin luar biasa. Mungkin setelah lulus dari ujian kesetiaan itu kita dapat gelar SLB, Setia Luar Biasa.
Dan ketika bertemu dengan Tuhan,
Tuhan berkata, "Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu."
Nah, tentu dari situ saya paham bahwa upah bagi orang yang setia adalah tanggung jawab yang lebih besar. Bukan gaji yang lebih banyak, harta yang lebih banyak dan segala macamnya itu untuk difoya-foyakan. Bukan makanan yang lebih banyak. Tapi tanggung jawab yang lebih besar.
Bila saya kaitkan dengan pertemanan, pacaran dan/atau pernikahan mungkin jadinya seperti ini. Setelah setia dalam pertemanan, mungkin diberikan tanggung jawab untuk setia dalam hal yang lebih besar yaitu pacaran, dan jika setia dalam berpacaran, diberikan tanggung jawab untuk setia dalam hal yang lebih besar lagi, pernikahan. Begitu selanjutnya....
Lho bagaimana kalau saya setia dan dia (si pacar/suami/istri) gak setia?
Ini sebenarnya pertanyaan yang manusiawi. Jika kita setia, tentu sadar atau tidak sadar, kitapun berharap orang lain itu setia. Ini juga harapan yang sangat berperikemanusiaan. Namun agak tidak manusiawi lagi kalau kita mempertanyakan kesetiaan orang lain. Kembali ke quote Bunda Teresa lagi, bagi dia, "...pada akhirnya itu urusan antara dia dengan Tuhan..!" Bukan urusan saya, jadi saya juga tentu tidak berhak menghakimi seseorang itu setia atau tidak, dan tidak berhak menuntut dia setia karena saya sudah setia, apalagi menuntut dia setia sedangkan saya tidak setia.
Anggap saja setia adalah menunaikan kewajiban, dan atas kewajiban itu kita dapat upah. Fokuslah pada penunaian kewajiban itu, jangan pada upahnya. Karena upah itu urusan BELIAU yang menganugerahkan kewajiban untuk setia bagi kita.
NB: Ini adalah pendapat dan pemahaman banditiah saya tentang kesetiaan. Kawan tak harus setuju atau tidak setuju, karena kesetiaan saya tidak butuh persetujuanmu Kawan. Dan kesetiaanmu juga tidak butuh persetujuan saya, karena pada akhirnya kesetiaanmu adalah urusan antara.....
Hitam Putih by Ada Band sembari melantun...
7 comments:
Jadi siapa yg tidak setia nih Bang... hehehe
Gek: Tentu seperti yg saya bilang tadi, saya tidak berhak menghakimi atau menuduh orang lain yang gak setia, yang penting saya menunaikan kewajiban saya untuk setia.... heheheh, klo saya dengan Ross, akh, saya hanya bisa tersenyum penuh syukur.... hehehe
Sesenang apapun orang yang sedang tidak setia itu sejatinya ia sedang merasa tersiksa, karena jauh dalam hatinya ia tahu sedang berbuat salah.
Jadi sebenarnya sifat dasar manusia itu memang setia. Kalau ada yang tidak, berarti ia justru sedang mengkhianati esensi dirinya sendiri :)
Setuju komentar Yomamen di atas, jika kita melakukan tindakan salah sebenarnya hati terdalam kita merasa dan melakukan complain, ada bbrp org yg mendengar bisikan hatinya lalu memperbaiki diri.
Sayangnya ada juga yg memilih mengabaikannya...
Maksudnya kalau mau setia itu kudu ikhlas ya, Ron, nggak boleh mengharapkan balasan. Coz ikhlas itu urusannya sama Tuhan, bukan sama manusia lain..
Yomamen : ..dan jadi ironis kan, sudah tersiksa kenapa masih tidak mau setia? hehehehe
Irma : :)
Kaka' Vicky : Iya kak e... :D
setia itu sangat penting lo,,,
Post a Comment