Pada dasarnya, hidup itu katanya memang tentang pilihan. Sepaket dengan risiko masing-masing pilihan yang melekat. Selama masih hidup masih dimungkinkan untuk memilih. Siang ini saya diperhadapkan pada dua pilihan antara memanfaatkan waktu kosong dengan tidur atau memilih menyelamatkan kembali rekor tidak pernah tidur siang saya yang sudah sering gugur sejak merasakan nikmatnya dinina-bobo-siangkan oleh makhluk bergelar wanita. Istri.
Kurang lebih episode ke dua (sebenarnya episode pertama, karena sebelumnya ternyata lebih layak disebut episode Tangerang) kehidupan saya di Jakarta ini sudah berlangsung 2 minggu lebih. Banyak pilihan yang sudah dibuat, sepaket dengan konsekuensinya. Salah satunya adalah pilihan tempat tinggal yang menurut saya risikonya tidak lebih berat dari memilih jodoh. Kalau salah memilih lingkungan, lokasi, dan posisi, masih besar kemungkinan untuk pindah. Kalau jodoh, yah sudah tahankanlah. Yang penting jenis kelamin masih beda.
Tugas utama saya di Jakarta ini sebenarnya kuliah. Benar-benar kuliah dan kuliah yang benar. Ah..
Berkampus di kawasan elit yang jarang didampingi kos-kosan dan/atau kontrakan murah itu menjadi tantangan tersendiri. Kalau dapat harganya selangit, kalau gak dapat nyari pilihan yang agak minggir. Konsekuensi utamanya adalah penambahan jarak dan waktu perjalanan dari dan ke kampus menuju tempat tinggal. Penambahan jarak tempuh di ibu kota ini dengan waktu yang dibutuhkan agak-agak melanggar hukum proporsionalitas (yang entah ada atau gak). Misalkan jarak 5 km biasanya bisa kita tempuh dengan 3 - 5 menit, seharusnya kan 15 km itu cukup dengan 9 - 15 menit, atau 10-12 menit. Pada nyatanya bisa jadi malah 20, 30 dan gak sampai-sampai. Macet. Terutama untuk manusia udik yang baru saja (terpaksa) memepelajari lalu lintas di Jakarta, tentu ada variabel lain yang mempengaruhinya seperti lupa jalan yang jadi berhenti dulu untuk mengingat-ingat, salah jalan yang berpotensi untuk menemukan fasilitas putar baliknya jauh. Dll...
Memilih tinggal di lokasi yang tidak jauh dari kampus, konsekuensi yang melekat adalah biaya yang cukup tinggi. Namun waktu tempuh menuju kampus tidak terlalu lama. Memilih tinggal dengan biaya yang lebih murah, kemungkinan besar dapatnya di lokasi yang berjarak sangat jauh dari kampus. Biaya kontrakan lebih terjangkau, namun risiko harian yang harus dihadapi terkait dunia perkampusan agak meningkatkan stress.
Pada akhirnya, setelah berdiskusi singkat dengan istri dari mata ke mata, eh, pilihan saya jatuh pada lokasi yang lebih jauh dari kampus dengan harga yang lebih dari 30% lebih murah, kualitas kontrakan lebih baik, dan lebih nyaman. Konsekuensi utamanya adalah masalah jarak dan waktu tempuh menuju kampus. Ceger (Tangerang) - Purnawarma (Jakarta Selatan).
Jika dipilah-pilih, penyebab utama risiko lamanya waktu tempuh ke kampus adalah kemacetan. Konsekuensinya adalah berangkat lebih pagi. Hapal-hapal lirik lagu perjuangan untuk dinyanyi-gumamkan sembari memacu motor. Kalau macet atau lampu merah, dan harus berhenti dan sesekali mengetuk-ngetuk dashboard motor mengikuti iramanya. Seperti kata-kata si Anu, "Kalau tidak bisa mengeliminasi penyebab, paling tidak harus bisa mengatasi akibat". Kalau tidak bisa mengeliminasi kemacetan, paling tidak harus bisa mengatasi stress (dengan nyanyi-nyanyi tadi) dan keterlambatan (dengan berangkat lebih pagi tadi).
Seiring waktu berjalan, tentu akan dapat solusi-solusi yang lebih baik. Macam macet yang jadi hilang kalau pembangunan MRT su beres, atau kalau su mengerti dan paham jalur-jalur pintas untuk pengendara motor. Sampai saat itu tiba, mari terus menyanyi-gumam kan lagu-lagu perjuangan. Hahaha
Jakarta Selatan, tanggal muda, Oktober 2015
Seseorang yang demi menghindari kota macet,
Lebih memilih penempatan ke Sorong
Namun kembali, demi kamu