Cinta dan Kayu Bakar...!

11 January 2012
Dalam sebulan liburan akhir semester kemarin, kurang lebih 3 minggu saya berada dikampung halaman saya, di Matiti, Dolok Sanggul, Sumatera Utara, sisanya dimanfaatkan untuk sesuatu yang berkaitan dengan cinta-cintaan. Waktu 3 minggu tersebut sebagian besar dihabiskan bersama keluarga, baik dirumah, di sawah, maupun di kebun...

Dirumah, dalam beberapa kesempatan saya menjadi tukang masak lagi. Setidaknya untuk memasak air minum. :D Masih lumayan daripada hanya sekedar berdiang dan menjaga kobaran api... :D

Bukan demi memenuhi janji di ending postingan sebelumnya, tapi sekedar berbagi hal-hal yang terpikirkan ketika berusaha (berpikir) tentang menganalogikan jenis-jenis kayu bakar dengan bentuk-bentuk pengorbanan dalam menjaga kobaran cinta yang pada akhirnya tetap membara ketika kobarannya sudah tak tampak...

  1. Anti Api... Pohon ini tipe kayunya gampang pecah, jadi tidak terlalu sudah untuk dikampak atau dibelah, kecuali kalau sudah kering. Ketika digunakan jadi kayu bakar, kobarannya lumayan besar, namun baranya cuma bertahan sebentar sebelum akhirnya menjadi abu. Dan tidak bisa dimanfaatkan untuk bahan pemanas setrika bara.. Dan kayu ini lebih cepat habis terbakar dibanding kayu Tusam.
  2. Tusam... Kayu ini lumayan besar kobarannya, baranya lebih bertahan lama dibanding Anti Api, agak bisa namun kurang bagus jika dimanfaatkan untuk pemanas setrika. Tapi tetep bisa... Ukurannya rata-rata lebih besar dibanding anti api.
  3. Silom. Nah, kayu ini lebih keras, pada umumnya diameter pohonnya tidak besar, dan jauh lebih kecil dibanding Anti Api dan Tusam, namun kobaran apinya lebih awet dan baranya lebih tahan lama.

Awalnya saya berpikir pengorbanan demi cinta itu juga seperti jenis pohon-pohon diatas.. Ada pengorbanan yang besar namun tidak mampu mempertahankan kobaran cinta bertahan lama, tapi ada pengorbanan kecil yang justru mampu membuat cinta lebih awet dan tahan lama. Bahkan bisa menghasilkan bara cinta yang bertahan lama...

Ya. Awalnya saya berpikir seperti itu. Dan mungkin memang ada yang seperti itu.

Tapi, lama-kelamaan ketika memikirkan bentuk analogi seperti apa yang akan saya tuliskan, saya jadi berpikir dan berkesimpulan bahwa supaya kobaran cinta itu tetep ada dan tetap membara sebelum para pecinta menjadi abu dan dikandung tanah adalah, hati...! Ketulusannya...

Ketulusan...!
Kayu bakar apapun yang akan dikorbankan untuk mengobarkan api atau menghasilkan bara, tergantung pada sifat dari kayu itu sendiri.
Pengorbanan apapun yang sudah saya korbankan, yang sedang saya korbankan, dan yang akan saya korbankan, milikilah hati yang tulus atas pengorbanan itu...!
Kerelaan..!
Hampir sama dengan ketulusan, namun tanpa "kerelaan" kayu bakar untuk dibakar, mana bisa api menyala? Apalagi untuk berkobar atau membara?

Kematangan..!

Kayu bakar itu juga tidak bisa asal dikorbankan, harus kering dan "masak" dulu baru baik digunakan sebagai kayu bakar.

Dalam cinta-cintaan saya juga berpendapat begitu, masa muda tak boleh dikorbankan dan menikah tanpa memiliki "kematangan". Kematangan berpikir, kematangan bertindak, kematangan berbicara dan juga kematangan biologis.. hehehe. Saya rasa tanpa "kematangan" itu-itu dan kematangan lain yang tidak saya sebut, saya ragu cinta dapat menyala, apalagi untuk berkobar dan membara.. Tsah...
Sama-sama..!
Percayalah, hampir bisa dipastikan bahwa api tidak akan menyala hanya dengan mengorbankan satu kayu bakar. Dan masakan tidak akan pernah tersedia di atas tikar makan (meja makan belum punya) jika memaksakan memasak hanya dengan dua bilah kayu bakar...

Dalam cinta juga tentunya begitu, tak akan ada nyala cinta jika hanya pria yang berkorban atau sebaliknya.


Akh, kayu bakar... Aku mencintaimu...! *mabuk




2 comments:

vie_three said...

yg terakhir gubrak. setelah serius-serius membaca, ah kayu bakar-kayu bakar.

obat hepatitis said...

slm knl.