Petualangan 7 Curug: Pulang...!

08 October 2011
Memutuskan pulang setelah menimbang-nimbang rute selanjutnya.

Salah satu bagian terpenting dari kepergian seseorang adalah kepulangannya. Ketika seseorang mau berangkat ke suatu tujuan, yang ditinggalkan seringkali menanyakan: "Kapan kawin?", eh maksud saya "Kapan pulang?" Waktu pamitan dengan kekasih saya untuk berpetualang ke curug-curug di Bogor, yang pertama dia tanyakan juga:"Sampai kapan?". Berangkat dari sini, ada perlunya saya menceritakan perjalanan pulang kami menuju Tangerang dari Kawasan Curug Cigamea.

Rencana awal sebenarnya target kami adalah mencapai 10 air terjun tersebut. Namun ketika di Cigamea hari sudah sore dan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Curug Seribu di kawasan yang sama. Sedangkan dua curug terakhir kami harus menuju ke Cianjur. Berbarengan dengan itu kondisi keuangan yang sudah mencapai batasan kami mengingatkan kami untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya.

Setelah berdiskusi dengan taman saya, Rendra, kami memutuskan untuk pulang ke Tangerang saja. Kemudian bertanya kepada pemilik warung tempat kami nongkrong sambil makan sore (pengganti makan siang) bagaimana caranya pulang ke Tangerang. Dari info yang terkumpul kami harus ke Cibodak dulu, kemudian dari situ naik angkot lagi ke Baranangsiang, baru naik bis ke Kampung Rambutan.

Kabar buruknya, sepertinya angkot terakhir dari Cigamea menuju Cibodak (beberapa kali saya salah sebut jadi Cobotak, Cibatok) adalah jam 5. Dan saat itu hari sudah hampir jam 5 dan tidak ada tanda-tanda angkot yang akan menuju ke Cibodak. Ojeg? Agak nihil gan...

Untungnya, salah satu pegawai Kawasan Wisata Curug Cigamea itu mau memboncengkan kami berdua dengan motor metik nya mencari tukang ojeg. Gratis. Agak kaget juga, tapi ya seneng juga... :D. Kami kemudian diantarkan oleh beliau menuju tukang ojeg, lumayan jauh jika kami harus berjalan kaki ke tempat tukang ojegnya. Setelah berterimakasih, kamipun berpisah dengan apak itu dan melanjutkan perjalanan dengan ojeg menuju Cibodak. Setengah perjalanan hujan deras turun dan kami terpaksa berganti dengan angkot yang kebetulan lewat. Ongkos ojegnya juga jadi separuh... :D

Diangkot, kami bertemu dengan ibu-ibu yang mau menuju Jakarta. Beliau membantu kami menuju ke Baranangsiang. Hujan deras mulai reda setelah dari Cibodak, namun deras lagi ketika kami sudah melewati kampus IPB, puji Tuhan kamera masih aman. Dan setelah melewati stasiun Bogor, angkot terus melaju. Kami kemudian turun setelah sopir angkotnya memberitahukan bis yang mau ke Kampung Rambutan ada di seberang jalan, kami kemudian turun dan menyeberang. Mendekati bis yang dimaksud, memastikan bahwa bis tersebut memang menuju Kampung Rambutan dari suara kondektur yang berteriak-teriak ditengah hujan deras yang sudah menjadi gerimis, di kegelapan yang sedikit penerangan cahaya lampu, "Rambutan, rambutan, rambutan...!"

"Ini yang ke kampung rambutan ya, Pak..?"
"Iya, rambutan, rambutan, rambutan....!"

Dan kami masuk bis, duduk bersebelahan di seat ke 3 sebelah kanan. Tak lama kemudian bisnya bergerak, maju, dan rasa dingin makin terasa dengan hembusan AC. Ngantuk yang terpaksa saya tahan-tahan karena takut kesasar... :D. Lae Rendra sudah tenggelam dengan alunan musik dari mp3 player, sebagai "pelindung" otak dan telinganya dari sinetron yang tayang di tipi bis.

Kepada Pak Kondektur yang terhormat saya berpesan supaya dikasih tahu kalau sudah sampai ke Kampung Rambutan. Dan dia menepatinya.

Saya kemudian menepuk pundak Lae Rendra untuk membangunkannya.
Kami sudah tiba di Kampung Rambutan, dan kami menuju halte trans jakarta mau ke Blok M. Dan karena ada sedikit kesalahan-kesalahan kami jadi berpetulang. Dan jam 11 lebih tiba di Blok M. Makan bakso, entah dibohongi karena tidak nanya harganya lebih dulu, atau karena harga tengah malam beda dengan harga siang, harganya mahal kalipun... :D

Kami kemudian naik taxi dari Blok M menuju Bintaro. Turun di depan GKI Bintaro, dan berpisah dengan Lae Rendra menuju kosan kami masing-masing. Tiba dikosan, bersih-bersih badan, berdoa dan tidur. Salah satu tidur ternikmat yang pernah saya tiduri, (eh?). *Ada yang salah dengan kalimat ini.


4 comments:

nami said...

:) suatu saat mungkin bisa dibukukan ron..tag2 fotonya ya...
nice story..

Asop said...

Aaah tidur paling nikmat itu saat tubuh benar2 ingin tidur dan saat beban pikiran tak ada. :)

Danu Akbar said...

Hm.. kok aku berasa pernah liat ya tempat di foto itu...

obat tradisional hepatitis a said...

info yg mnearik