Rp 10.000

09 November 2009
Saya hanya sekedar ingin berbagi lewat cerita ini, bukan maksud untuk merendahkan orang yang dilabeli orang sebagai orang gila dengan menyebutnya orang gila. Karena saya tetap beranggapan bahwa:
Apapun alasannya, bagaimanapun keadaannya, Manusia tetaplah Manusia.


Kadang-kadang untuk menanggapi sesuatu itu dibutuhkan sedikit keisengan kecil. Meski tidak untuk semua hal. Kisah (nyata) berikut ini hanyalah sebuah keberhasilan saya mengatasi ketakutan (terhadap orang gila) dengan sedikit keisengan.


Dulu waktu kecil, sudah sangat mendarah dan mendaging kalo orang gila itu menakutkan. Iya, saya takut karena pernah dikejar-kejar orang gila waktu kecil dulu. Katanya bisa menculik, melakukan hal-hal menakutkan itulah intinya. Makanya, dulu waktu kecil saya pernah gak mau berangkat ke sawah karena (alasannya: takut orang gila) malas. victoire

Dan, takut sama orang gila itu masih melekat di diri saya, sampai...

Suatu sore, jam 4, saya berangkat sendirian ke warung Maju Mapan (salah satu warung makan di Maumere). Saya sampai, memarkir motor (pinjeman), masuk ke warung dan suasananya tidak seperti biasa. Hanya ada satu pengunjung, bapak-bapak berambut gondrong, pake sweater kumal, merokok dan mengopi. Iya, mengopi disiang panas begitu...

"Nasi ikan Bu...!" pinta saya sama penjaga warung, dia terlihat mengamankan anaknya yang masih kecil. Padahal biasanya berkeliaran di warung itu, bahkan hampir tiap saat bercanda ria dengan saya.
Nasi ikan pun datang...
Sebelum makan saya berdoa dulu, kemudian meng-semeses seseorang untuk mengucapkan, "Suapin donk..!" :P. Nggak, nggak, nggak... Waktu itu saya cuma menanyakan dia sudah makan apa belum.

Saya merasa sibapak-bapak ini melihatin saya. Untungnya beliau bukan: wanita cantik, manis, rajin, suka menabung, tidak boros, dan sopan sama mertua. Klo iya, mungkin saat itu saya sudah melamarnya. Ngaco.

"Saya pusing sekali, makanya ngomong sendiri, aihh.. wohhh...!" begitu ucap si bapak itu sembari saya mengacuhkan karena saya merasa beliau tidak berbicara dengan saya. Si ibu penjual nasi itu lewat sambil menggendong anaknya, saya tahu itu ekspresi resah. Biasanya anaknya itu berkeliaran di warung itu, bahakn bercanda ria bersama saya.

Merasa terus dilihatin si bapak, saya pun menoleh, menunduk pada beliau mempersilahkan, "Mari makan Pak..!" gitu...

"hemmm..!" terdengar begitu, sambil berkali-kali mengusir lalat yang berkeliaran di rambutnya.
Makin lama, makin ngomong sendiri dia... Ngomong gak jelas. Yang jelas dia sedang ngomong sendiri. Tak ketinggalan, dia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Irama yang cukup bersemangat. Sesemangat saya menikmati makan siang saya yang digabung dengan makan malam. Dalam hati saya bertanya, 'Tadi bapak ini mesen kopinya gimana yaa..?" Lanjut makan...

Nasi saya dan sayurnya dan ikannya serasa kompak dengan senang hati menuju ke perut saya. Dan tidak berniat lama-lama di situ (biasanya memang begitu), sayapun memakai helm, merogoh dompet dan bermaksud membayar makanan saya. Dan saat itulah si bapak ini menghampiri saya, yang sedetik kemudian memaksa keringat saya mengucur. Saya takut.

"Bang, hdjfhd ;lkeutuf jfeKKE...!" entah karena takut atau memang saya tidak jelas mendengar suara bapak itu. Bang-nya sih jelas. entah kenapa dia tahu nama panggilan saya waktu SMA dulu. Padahal saya yakin kami tidak pernah se SMA.

"Pa..? Gak Jelas...?" saya membuat suara agak keras, bukan bermaksud membentak, tapi mungkin ketakutan membuat suara saya keras. Sekalian biar dia bicaranya keras.

"Bang, saya boleh minta uang....?" setelah beberapa kali saya mengomandonya untuk bicara lebih keras. Yang diterjemahkan bapak itu menjadi "bicara lebih dekat". Saking dekatnya saya bisa melihat debu-debu di rambut gondrongnya, bahkan karang giginya yang menebal itu. Si bapak ini bicara bahkan sambil mengelus-elus perutnya. Asap rokoknya berhamburan sembari bicara.

"Berapa...?" saya sudah tidak takut lagi...
"Iya Bang, saya belum makan Bang.. lapar...!" dalam hati saya berpikir, belum makan kok malah beli kopi?
"Ya sudah makan sa(ja), biar saya bayarkan..!" masih kenceng suara saya. Tapi dah mulai tenang. Orang Maumere itu kalo mau bilang "saja" cukup dengan "sa"
"Jangan Bang, nanti sa(ja)...!"
"Mmm, berapa..?"
"sepuluh ribu sa(ja)...!"
Dari dompet saya keluarkan sebuah limaribuan, sayakasih ke dia. Dengan anggapan bahwa dia pasti tidak tahu itu lima ribu atau berapa. Yang penting duit.

"Lho kok kurang Bang..? Ini kan limaribu, kurang satu lagi...!" ih, sudah ngomong sendiri gak jelas, tapi bisa bedain uang limaribu sama sepuluhribu, malah paham kalo sepuluh ribu itu sama dengan limaribuandua.

Whattt? Saya dah mau ketawa waktu itu, kalo gak ingat tadi dia bicara sendiri.

Ya, sudah, saya kasih satu lagi limaribuannya. Dompet kosong melompong. Untungnya sorenya kami pulang kantor jalan kaki (biasanya naik ojek).

Dan dijalan pulang, saya malah berpapasan dengan si bapak, masih dengan dia ngomong sendiri, sweater tebal, celana trening putih yg berevolusi menjadi kumal, rambut gondrongnya juga, dan sambil mengelus-elus perutnya.


Ada-ada sa(ja)...!



3 comments:

ocha said...

kwakwakwakwakwakwa!! ada2 sa(ja)!!

-Gek- said...

Aduhhhhhhhhhhhhhh..
bapak itu pasti (pura-pura) gila ya??
:)

bandit™perantau said...

ocha: heheheh...

-Gek- : Surely not... :D